PEMBERONTAKAN ANGKATAN PERANG RATU
ADIL (APRA)
Pada tanggal
23 Januari 1950 di Bandung meletus peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Latar belakang pemberontakan APRA adalah adanya friksi dalam tubuh Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) antara tentara pendukung federalis
(KNIL/KL) dengan pendukung unitaris (TNI).
Bekas anggota KNIL yang tetap menginginkan sebagai tentara bagi Negara Pasundan itu membentuk Angkatan Perang Ratu Adil. Mereka bahkan memberi ultimatum kepada pemerintah RIS agar tetap diakui sebagai Tentara Pasukan dan menolak segala upaya pembubaran terhadap negara bagian tersebut. Tentu, ultimatum ini ditolak pemerintah. Akhirnya, 800 orang bekas KNIL bersenjata lengkap menyerang dan menduduki Kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950.
Bekas anggota KNIL yang tetap menginginkan sebagai tentara bagi Negara Pasundan itu membentuk Angkatan Perang Ratu Adil. Mereka bahkan memberi ultimatum kepada pemerintah RIS agar tetap diakui sebagai Tentara Pasukan dan menolak segala upaya pembubaran terhadap negara bagian tersebut. Tentu, ultimatum ini ditolak pemerintah. Akhirnya, 800 orang bekas KNIL bersenjata lengkap menyerang dan menduduki Kota Bandung pada tanggal 23 Januari 1950.
Gerakan APRA
yang dipimpin Raymond Westerling itu berhasil membunuh ratusan prajurit
Divisi Siliwangi. Westerling juga merencanakan menyerang Jakarta dengan bekerja
sama dengan Sultan Hamid II untuk menculik dan membunuh para menteri RIS yang
tengah bersidang.
Namun, usaha ini dapat digagalkan oleh APRIS dengan mengirimkan kesatuan-kesatuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perdana Menteri RIS Drs. Moh. Hatta pun mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda.
Namun, usaha ini dapat digagalkan oleh APRIS dengan mengirimkan kesatuan-kesatuan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perdana Menteri RIS Drs. Moh. Hatta pun mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda.
Akhirnya,
Mayor Jenderal Engels (Komandan Tentara Belanda di Bandung) mendesak Westerling
agar pergi meninggalkan Kota Bandung. APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS.
Tindakan Westerling inilah yang menyebabkan tingginya tuntutan rakyat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Westerling dengan delapan ratus serdadu.
Tindakan Westerling inilah yang menyebabkan tingginya tuntutan rakyat untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) terjadi di Bandung tanggal 23 Januari 1950. Pemberontakan ini dipimpin oleh Raymond Westerling dengan delapan ratus serdadu.
Latar belakang pemberontakan ini
adalah keinginan Belanda untuk mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia
dan mempertahankan serdadu Belanda dalam sistem federal.
Pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Bahkan, Markas Staf Divisi Siliwangi berhasil mereka rebut.
Letnan Kolonel Lembong dan lima belas pasukannya tewas setelah diserang 150 gerombolan APRA. Akibat pemberontakan APRA ini sekitar 79 tentara APRIS tewas.
Pemerintahan Hatta mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dan mengirimkan pasukan ke Bandung. Akhirnya, Komandan Tentara Belanda Mayor Jenderal Engels mendesak Westerling agar pergi. Gerombolan APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS dengan dibantu rakyat. Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
Pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950 gerombolan APRA menyerang anggota Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS/TNI). Bahkan, Markas Staf Divisi Siliwangi berhasil mereka rebut.
Letnan Kolonel Lembong dan lima belas pasukannya tewas setelah diserang 150 gerombolan APRA. Akibat pemberontakan APRA ini sekitar 79 tentara APRIS tewas.
Pemerintahan Hatta mengadakan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda dan mengirimkan pasukan ke Bandung. Akhirnya, Komandan Tentara Belanda Mayor Jenderal Engels mendesak Westerling agar pergi. Gerombolan APRA pun berhasil dilumpuhkan oleh APRIS dengan dibantu rakyat. Kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil dimanfaatkan Westerling untuk meraih massa guna mewujudkan keinginannya. Kepercayaan tersebut memperlihatkan bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya.
A. Peran Westerling dalam Pembentukan APRA
Raymond Pierre Paul Westerling lahir di Istanbul, 31 Agustus 1919 dan
meninggal di Belanda, 26 November 1987 pada usia 68 tahun. Westerling lahir
sebagai anak kedua dari Paul Westerling dan Sophia Moutzou. Dia komandan
pasukan Belanda yang terkenal karena memimpin Pembantaian Westerling pada tahun
1946 sampai 1947 di Sulawesi Selatan dan percobaan kudeta APRA di Bandung, Jawa
Barat.
Westerling yang dijuluki si Turki karena lahir di Istanbul, mendapat
pelatihan khusus di Skotlandia. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di
Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade
Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham.
Westerling termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang
memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di
Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan
yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan
Belanda di Indonesia. Seorang instruktur Inggris sendiri mengatakan pelatihan ini
sebagai neraka di dunia. Pelatihan dan pelajaran yang mereka peroleh antara
lain perkelahian tangan kosong, penembakan tersembunyi, berkelahi dan membunuh
tanpa senjata api, membunuh pengawal dan sebagainya. Setelah bertugas di
Eastbourne sejak 31 Mei 1943, maka bersama 55 orang sukarelawan Belanda lainnya
pada 15 Desember 1943, Sersan Westerling berangkat ke India untuk betugas di
bawah Laksamana Madya Mountbatten Panglima Komando Asia Tenggara. Mereka tiba
di India pada 15 Januari 1944 dan ditempatkan di Kedgaon, 60 km di utara kota
Poona.
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan Depot Speciale
Troepen (DST) atau Depot Pasukan Khusus. Awalnya, penunjukkan Westerling
memimpin DST ini hanya untuk sementara sampai diperoleh komandan yang lebih
tepat dan pangkatnya pun tidak dinaikkan, tetap Letnan II (Cadangan). Namun dia
berhasil meningkatkan mutu pasukan menjelang penugasan ke Sulawesi Selatan dan
setelah berhasil menumpas perlawanan rakyat pendukung Republik di Sulawesi
Selatan, dia dianggap sebagai pahlawan namanya membumbung tinggi.
B.
Latar Belakang Terjadinya Pemberontaka APRA
APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia
diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang
menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS
(Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses
untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan
perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara
federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan
bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan
atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan
ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari
Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya
atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling
merupakan gerakan yang didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Salah satu
landasan bagi gerakan APRA ini adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan
datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang
telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang,
mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan
Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu
Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan
akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Tidak hanya
rakyat-rakyat biasa yang dihimpun Westerling untuk menjadi tentaranya tetapi
mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda juga ikut menjadi bagian dari tentara
APRA. Ada satu hal yang menarik bahwa kendaraan-kendaraan yang digunakan oleh
KNIL maupun KL dalam melancarkan aksinya diberi tanda segitiga orange sebagai
lambang negara Belanda
Sebenarnya organisasi ini sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu
disahkan. Pada bulan November 1949,
dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah
mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang.
Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan
Westerling adalah "Ratu Adil
Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang
dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA).
Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi
dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang
Tionghoa, Chia Piet Kay, yang
dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat
(RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman
van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk
mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri
pada negara-negara bagian RIS .
C. Jalannya Pemberontakan APRA
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan
Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten
KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara spontan. Pemberontakan ini
telah direncanakan sejak beberapa
bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan
tertinggi militer Belanda.
Pada 25
Desember 1949 malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menghubungi Letnan
Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta
terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap
Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar
berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu
jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran
penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut
memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari
Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS
yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar
Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta
Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS
harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebut dalm waktu 7 hari dan
apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda
dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi
Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan
berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam
Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua
pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10
Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah
mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia
telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling
mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan
Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi
pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai
organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang
memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan
Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van
Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda
yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada
Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling.
Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari
1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang
sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu
unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari
1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal
Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok
rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Namun upaya
mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau
terlambat dilakukan. Westerling mendengar mengenai rencana tersebut dari beberapa bekas anak buahnya, sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda
dimulai, pada 23 Januari 1950 Westerling melancarkan "kudetanya."
Subuh pukul 4.30 hari itu, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon Jenderal
Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos
Besar menuju Bandung." Namun laporan Letkol Cassa tidak mengejutkan
Engles, karena sebelumnya, pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima
laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah
melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H.
Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa "compagnie
Erik" yang berada di Kampemenstraat juga akan melakukan desersi
pada malam itu dan bergabung dengan APRA untuk ikutserta dalam kudeta, namun
dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera
membunyikan alarm besar dan segera menghubungi Letnan Kolonel TNI
Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada
Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Mulanya
penduduk kota Bandung tidak terlalu curiga karena adalah hal yang biasa
tentara hilir mudik keluar masuk kota Bandung pada masa itu,
walau Perang kemerdekaan dianggap sudah berakhir. Tentara APRA pada saat itu menggunakan truk, jeep, motorfiets, serta ada yang
berjalan kaki dengan seragam dan bersenjata lengkap dan jumlahnya ditaksir
antara 500-800 personel.
Namun ketika
mereka mengadakan steling di gang-gang di sepanjang jalan Cimahi-Bandung
sambil melepas tembakan ke udara. Bahkan ada di antara mereka yang mengarahkan tembakan kebeberapa rumah penduduk. Barulah
setelah mendengar suara tembakan tersebut, warga seketika menjadi
was-was. Sejumlah polisi yang menjaga pos-pos sepanjang jalan raya
Cimindi-Cibereum dilucuti senjatanya. Sesampainya di kota kepanikan rakyat
semakin menjadi-jadi, banyak toko dan rumah ditutup dan jalanan pun
menjadi sepi.
Di jalan
perapatan Banceuy, seorang TNI yang mengendarai jip dan tidak
bersenjata diberhentikan. Tentara itu diperintahkan untuk turun dan
mengangkat tangan lalu dengan keji ditembak mati. Pasukan APRA bergerak
di Jalan Braga, di muka Apotheek Rathkam sebuah mobil sedan juga
diberhentikan. Tiga penumpangnya juga diperintahkan untuk turun, di antaranya seorang perwira TNI. Tanda pangkat
perwira itu diambil dan kemudian dia dibunuh. Dua orang sipil yang
bersama tentara tadi kemudian diangkut dengan truk.
Tentara APRA
juga mengadakan aksi di depan Hotel Preanger. Mereka menyerang sebuah truk
berisi tiga orang TNI. Perlawanan dari TNI baru terjadi di Jalan Merdeka,
sekalipun tidak seimbang. Setelah tembak-menembak sekitar 15 menit, 10 orang TNI
gugur. Tentara APRA juga menyerang truk yang dikendarai 7 orang serdadu
TNI di perempatan Suniaraja-Braga. Truk itu ditembaki dari depan dan
belakang.
Perlawanan
yang cukup hebat terjadi di Kantor Kwartir Divisi Siliwangi Oude
Hospitaalweg. Satu regu stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin
Letkol (Overste ) Sutoko dikepung tentara APRA yang jumlahnya lebih
banyak. Benar-benar pertempuran sampai peluru terakhir. Letkol
Sutoko, Letkol Abimanyu dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan
diri. Lainnya tewas. Markas itu diduduki dan tentara APRA merampok
brandkas sebesar F150.000.
Pertempuran juga terjadi di kantor stafkwartier Divisi Siliwangi Jalan Lembang. Satu rgu
stafdekking TNI terdiri dari 15 orang dipimpin Overste Sutoko dengan tiba2
dikerubungi oleh ratusan APRA. Pertempuran berlangsung kurang lebih setengah
jam. Pertempuran dilakukan hingga peluru terakhir. Everste Sutoko, Abimanyu,
dan seorang opsir lainnya dapat menyelamatkan diri, lainnya tewas. APRA
kemudian berhasil menduduki stafkwartier dan membongkar brandkast yang isinya
Rp. 150.000, jumlah yang cukup besar untuk saat itu. Selain itu, mayat-mayat
dari TNI dan sipil pun bergelimpangan antara jalan Braga hingga jalan Jawa. Di
antara orang-orang sipil yang tewas, kabarnya menjadi korban karena mereka
berani menjawab “Jogja”, ketika ditanyakan “Pilih Pasundan atau Jogja?” oleh
pasukan APRA.
Perwira TNI
lainnya yang gugur ialah Letkol Lembong dan ajudannya Leo Kailola. Mereka
dihujani peluru ketika hendak masuk Markas Divisi Siliwangi yang ternyata sudah
diduki oleh gerombolan APRA. Keseluruhan 79 orang menajdi korban
keganasan gerombolan ini. Mereka adalah 61 serdadu TNI dan 18 orang
lainnya yang tidak diketahui namanya karena tidak mempunyai tanda-tanda
atau surat dalam pakaiannya.
Sementara
Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST
dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud menangkap Presiden
Sukarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan
KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak
muncul, sehingga "serangan" ke Jakarta gagal total. Demikian juga
secara keseluruhan, pelaksanaan "kudeta" tidak seperti yang
diharapkan oleh Westerling dan anak buahnya.
Setelah puas
melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang
mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke
Jakarta, di mana dia pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II
di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers,
melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan
Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan
sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel.
Setelah itu
terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya.
Pada 25 Januari Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling,
didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima
laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah
satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer
yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari
pasukan elit tentara Belanda, tentu menjadi berita utama media massa di seluruh
dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama
melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White,
jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu
krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Untuk
dunia internasional, Belanda sekali lagi duduk di kursi terdakwa. Duta Besar
Belanda di AS, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda
secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung
dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam
dari Belanda).
D. Penumpasan APRA
Ketika terjadi
pemberontakan APRA tidak dilakukan perlawanan yang berarti, hal ini disebabkan
karena beberapa faktor. Pertama, karena serangan dilakukan dengan sangat
tiba-tia, pembalasan tembakan pun tidak dilakukan karena orang-orang APRA
bercampur dengan orang KNIL dan KL. Sedangkan mengenai latar belakang aksinya,
diduga keras bahwa APRA ingin mendukung berdirinya negara Pasundan, supaya
negara ini bisa berdiri tanpa gangguan TNI dan menggunakan APRA sebagai
angkatan perangnya.
Secara umum boleh pasukan Divisi Siliwangi TNI tidak siap karena baru saja
memasuki Kota Bandung setelah perjanjian KMB. Panglima Siliwangi Kolonel Sadikin
dan Gubernur Jawa Barat Sewaka pada saat kejadian sedang mengadakan
peninjauan ke Kota Subang. Sementara di Jakarta pada pukul
11.00 bertempat di kantor Perdana Mentri RIS diadakan perundingan antara
Perdana Mentri RIS dan Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia.
Terungkap adanya keterlibatan tentara Belanda (diperkirakan sekitar 300
tentara Belanda berada di antara pasukan APRA) dalam peristiwa di Bandung
itu, maka diputuskan tindakan bersama.
Jendral Engels akhirnya memerintahkan pasukan APRA untuk kembali ke
Batujajar, baik karena diperintah atasannya, maupun ancaman dari Divisi
Siliwangi yang tidak menjamin keselamatan warga Belanda yang berjumlah ribuan
di kota Bandung. Pada hari itu juga pasukan APRA meninggalkan Kota Bandung.
Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang
melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan
Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar
dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan
Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong
dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk
senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan
No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs
(anggota tentara yang melarikan diri dari dinasi tentara).
Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam
penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka
yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana
dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih
melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk
menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh
Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal
Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan
Perang Kolonel T.B. Simatupang.
Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri
tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling
sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang
pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka
gerakannya pun jadi bubar.
E.
Dampak Pemberontakan APRA
Bila dilihat dari latar belakang pemberontakan yang dilakukan oleh APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil) yang diketuai oleh Raymond Pierre Westerling ini
bertujuan untuk mendapat pengakuan dari pemerintah RIS yang ingin diakui
sebagai tentara Pasundan. Selain itu, pemberontakan ini juga bertujuan untuk
tetap mempertahankan pemerintahan Reupblik Federal dan tidak menginginkan
adanya penyerahan kedaulatan serta adanya tentara tersendiri di negara-negara
bagian RIS. Sehingga terjadilah pemberontakan APRA ini yang terjadi di Bandung.
Dalam pemberontakan ini, APRA berhasil menduduki markas dari Kodam Divisi
Siliwangi berhasil diduduki pada tanggal 23 Januari 1950 dan juga membunuh para
tentara Indonesia yang bermaksud untuk melawan. Salah satu tentara yang
terbunuh ialah Letnan Kolonel Lembong tewas pada peristiwa ini. Bandung pun
dapat dikuasai sementara oleh pasukan APRA untuk beberapa jam. Dalam peristiwa
ini juga menyebabkan 79 orang APRIS tewas dan juga beberapa masyarakat sekitar
juga mnejadi korban kekejaman pemberontakan ini. Dengan terjadinya peristiwa
ini di Bandung membuat pemerintah mengirimkan pasukan APRI ke Bandung untuk
menumpas gerakan pemberontakan APRA. Pada akhirnya gerakan pemberontakan APRA
berhasil ditumpas oleh APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
Perisitiwa merupakan suatu konspirasi diantara Raymond Pierre Westerling
dan Sultan Hamid II dari Pontianak. Ketika pemberontakan yang di Bandung itu
berakhir, Jakarta menjadi target berikutnya. Dalam misi kali ini APRA ingin
menyerang Jakarta serta ingin membunuh menteri-menteri RIS seperti Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Mr. Ali Budiarjo dan Kolonel TB Simatupang pada tanggal 26
Januari 1950.
Namun aksi dari APRA untuk menyerang Jakarta sudah diketahui sebelumnya
oleh jajaran petinggi pemerintahan sehingga aksi tersebut dapat digagalkan dan
konspirasi diantara Westerling dan Sultan Hamid II ini terbongkar dan ketika
akan ditangkap, Westerling kabur ke Singapura dan Sultan Hamid II berhasil
ditangkap. Maka berakhir pemberontakan APRA ini.
v
KESIMPULAN PEMBERONTAKAN APRA:
1.
Tokoh: Gerakan
APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling, dan didalangi oleh Sultan Hamid
II.
2.
Latar belakang: Gerakan APRA didalangi oleh
kelompok kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di
Indonesia.
3.
Tujuan pemberontakan APRA adalah
mempertahankan bentuk federal, berdirinya negara federal, dan adanya tentara
sendiri di setiap negara bagian.
4.
Aksi Gerakan
·
Pada tanggal 23 Januari 1950,
Westerling dan pasukannya merebut tempat-tempat penting di Bandung, membunuh
anggota TNI, dan menduduki markas staf Divisi Siliwangi.
·
Menyerang kabinet RIS dan akan
membunuh beberapa orang menteri. Namun dapat digagalkan.
5.
Upaya penumpasan:
·
Pemerintah Indonesia melancarkan
operasi militer pada tanggal 24 Januari 1950.
·
Di Jakarta, diadakan perundingan
antara Drs. Moh. Hatta dengan Komisaris Tinggi Belanda. Hasilnya Mayor Engels
mendesak Westerling dan pasukan APRA meninggalkan kota Bandung.
·
Melakukan penangkapan terhadap
Westerling dan Sultan Hamid II, namun Westerling berhasil melarikan diri.
·
Dampak dari gerakan APRA adalah
parlemen Negara Pasundan mendesak agar negara tersebut dibubarkan dan terjadi
pada tanggal 27 Januari 1950.
SEJARAH
PERTEMPURAN PALAGAN AMBARAWA
Pertempuran Ambarawa (20
November 1945 - 15 Desember 1945) adalah pertempuran antara rakyat
Indonesia (TKR) dengan pasukan Sekutu. Pertempuran ini merupakan salah satu
dari sekian banyak pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang
telah diimpi-impikan.
Awal Mula Pertempuran Ambarawa
Kedatangan Sekutu di Semarang
tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel semula
diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang dan
tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah. Bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr
Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, dengan syarat Sekutu berjanji tidak akan mengganggu
kedaulatan Republik Indonesia.
Akan tetapi secara diam-diam ternyata Sekutu diboncengi NICA dan mempersenjatai bekas tawanan perang tentara Belanda di Ambarawa dan Magelang. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran antara TKR dan Sekutu. Maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brig. Jend Bethel mengadakan perundingan genjatan senjata yang isinya :
Akan tetapi secara diam-diam ternyata Sekutu diboncengi NICA dan mempersenjatai bekas tawanan perang tentara Belanda di Ambarawa dan Magelang. Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran antara TKR dan Sekutu. Maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brig. Jend Bethel mengadakan perundingan genjatan senjata yang isinya :
1. Pihak
Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan
pasukan Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari
pasukan Inggris. Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.
2. Jalan
raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan
Sekutu.
3. Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.
Terjadinya Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 21 November 1945
pasukan Sekutu diam-diam mundur dari Magelang ke Ambarawa. Gerakan ini segera
dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M.
Sarbini. Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena
dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang
diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta.
Saat melakukan pengunduran,
Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia
di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,
namun ia gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi
V Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia
langsung turun ke lapangan untuk memimpin jalannya pertempuran. Kolonel
Soedirman segera mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi
penyerangan terhadap musuh. Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil
mengepung musuh yang bertahan di Benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah
kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa dikepung. Karena merasa
terjepitmaka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa
menuju ke Semarang. Kemenangan pertempuran ini kini diperingati sebagai
Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika serta diabadikan
dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa.
Awal
Pertempuran Ambarawa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu
mendarat di Semarang dibawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel yang semula
diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang. Pada
awalnya, pendaratan Sekutu di Semarang bertujuan untuk melucuti senjata tentara
Jepang dan mengurus tawanan perang tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah dan
bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi
kelancaran tugas Sekutu, dan Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan
Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan
Magelang untuk membebaskan para tawanan tentara Belanda, secara diam-diam
tentara Sekutu telah mengikutkan tentara NICA dan mempersenjatai para bekas
tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Tindakan ini akhirnya dapat diketahui
oleh Indonesia dan menimbulkan insiden yang kemudian meluas menjadi sebuah
pertempuran terbuka. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai penguasa
yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR Resimen
Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan mengepung tentara Sekutu dari
segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur tangan
Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana.
Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka
pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brigadir Jend. Bethel
mengadakan perundingan gencatan senjata. Setelah diadakannya perundingan,
secara diam-diam tentara Sekutu mulai meninggalkan Magelang dan mundur ke
Ambarawa pada tanggal 21 November 1945.
Resimen Kedu Tengah dibawah pimpinan Letkol M. Sarbini melakukan pengejaran
terhadap tentara Sekutu dan meletuslah pertempuran di Ambarawa. Gerak mundur
tentara Sekutu ini tertahan karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda pimpinan
Sastrodihardjo yang memperkuat gabungan pasukan dari Ambarawa, Suruh, dan Solo
di Desa Lambu. Di Desa Ngipik, tentara Sekutu kembali dihadang di Batalyon
Soerjosoempeno. Pada saat pengunduran diri, tentara Sekutu mencoba menduduki
dua Desa disekitar Ambarawa. Dalam usaha merebut kedua Desa tersebut, gugurlah
Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Beliau,
Komando pasukan dipegang oleh Letkol Soedirman, Panglima Divisi V di
Purwokerto, dan terjun langsung memimpin pertempuran.
Jenderal Soedirman sebagai pemimpin pasukan
menegaskan perlunya mengusir tentara sekutu dari Ambarawa secepat mungkin.
Sebab sekutu akan menjadikan Ambarawa sebagai basis kekuatan untuk merebut Jawa
Tengah. Dengan semboyan ”Rawe-rawe rantas malang-malang putung, patah tumbuh
hilang berganti”, pasukan TKR memiliki tekad bulat membebaskan Ambarawa atau
dengan pilihan lain gugur di pangkuan ibu pertiwi.
Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru
kepada pasukan-pasukan RI. Kolonel Soedirman mengkoordinir komandan-komandan
sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Siasat yang
diterapkan adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan
terus mengalir dari Yogyakarta, Solo,
Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang,
dan lain-lain.
Peristiwa Pertempuran Ambarawa
Tanggal 23 November 1945 ketika
matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan pasukan Sekutu yang
bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan
Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan
Yon. Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan
Jepang dengan diperkuat tanknya, menusuk ke tempat kedudukan Indonesia dari
arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.
Serangan pembebasan Ambarawa yang berlangsung
selama empat hari empat malam dilancarkan dengan penuh semangat pantang mundur.
Dari tanggal 12 Desember hingga 15 Desember 1945, para pejuang tidak
menghiraukan desingan-desingan peluru maut lawan. Tetapi sebelumnya, pada
tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para
Komandan Sektor TKR dan Laskar perjuangan yang secara serentak akan mengepung
musuh yang bertahan di benteng Wille, yang terletak di tengah-tengah kota
Ambarawa.
Letusan tembakan dengan tembakan mitraliur sebagai
isyarat dimulainya serangan umum pembebasan Ambarawa terdengar tepat pukul 4.30
WIB pada tanggal 12 Desember 1945. Pejuang yang telah bersiap-siap di seluruh
penjuru Ambarawa mulai merayap mendekati sasaran yang telah ditentukan, dengan
siasat penyerangan mendadak secara serentak di segala sektor.
Seketika, dari segala penjuru Ambarawa penuh suara
riuh dengan desingan peluru, dentuman meriam, dan ledakan granat. Serangan
dadakan tersebut diikuti serangan balasan musuh yang kalang kabut. Satu
setengah jam kemudian, jalan raya Semarang - Ambarawa dikuasai oleh
kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman
langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau
pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Dan
karena merasa terjepit, akhirnya pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran
berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa, dan Sekutu mundur menuju ke
Semarang.
Akhir Pertempuran Ambarawan
Sekira pukul 16.00 WIB, Jalan Raya Ambarawa -
Semarang berhasil dikuasai TKR dan pengepungan musuh dalam kota Ambarawa
berjalan dengan sempurna. Terjadilah pertempuran jarak dekat. Musuh mulai
mundur pada tanggal 14 Desember 1945. Persediaan logistik maupun amunisi musuh
sudah jauh berkurang. Akhirnya, pasukan sekutu mundur dari Ambarawa sambil
melancarkan aksi bumi hangus pada tanggal 15 Desember 1945, pukul 17.30 WIB.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan gemilang
dari TKR. Benteng pertahanan sekutu yang tangguh berhasil direbut pasukan TKR.
Kemenangan pertempuran Ambarawa pada tanggal 15 Desember 1945 dan keberhasilan
Panglima Besar Jenderal Soedirman ini kemudian diabadikan dalam bentuk monumen
Palagan Ambarawa. TNI AD memperingati tanggal tersebut setiap tahun sebagai
Hari Infanteri.
Berdasar Keputusan Presiden RI No. 163/1999, Hari
Infanteri kemudian diganti dengan nama Hari Juang Kartika. Dan sampai sekarang
setiap tanggal 15 Desember diperingati sebagai hari Infanteri.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan
didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan
Darat atau Hari Juang Kartika.
Pertempuran
Ambarawa pada tanggal 20 November
berakhir tanggal 15 Desember 1945, antara pasukan TKR melawan pasukan inggris.
Ambarawa merupakan kota yang terletak antara kota Semarang dan magelang, serta
Semarang dan Salatiga. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh mendaratnya pasukan
Sekutu dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 oktober 1945.
Pemerintah Indonesia memperkenankan mereka untuk mengurus tawanan perang yang
berada di penjara Ambarawa dan Magelang.
Kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan NICA. Mereka mempersenjatai para bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan Sekutu. Insiden berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah persetujuan itu berisi antara lain:
Kedatangan pasukan Sekutu (Inggris) diikuti oleh pasukan NICA. Mereka mempersenjatai para bekas tawanan perang Eropa, sehingga pada tanggal 26 Oktober 1945 terjadi insiden di Magelang yang kemudian terjadi pertempuran antara pasukan TKR dengan pasukan Sekutu. Insiden berakhir setelah Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethell datang ke Magelang pada tanggal 2 November 1945. Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan memperoleh kata sepakat yang dituangkan da1am 12 pasal. Naskah persetujuan itu berisi antara lain:
Pihak
Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan
kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan
pasukan Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari
pasukan Inggris. Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.
Jalan
raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan
Sekutu.
Sekutu
tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.
Terjadinya Pertempuran Ambarawa
Pihak Sekutu temyata mengingkari
janjinya. Pada tanggal 20 November 1945 di pertempuran
Ambarawa pecah pertempuran antara TKR di bawah pimpinan
Mayor Sumarto dan pihak Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu
yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah lindungan pesawat tempur.
Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran berkobar di dalam kota dan pasukan
Sekutu melakukan terhadap perkampungan di sekitar Ambarawa. Pasukan TKR di
Ambarawa bersama dengan pasukan TKR dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura
bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis medan di sepanjang rel
kereta api yang membelah kota Ambarawa.
Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion Sugeng.
Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran, bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara, sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
Sedangkan dari arah Magelang pasukan TKR Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Androngi melakukan serangan fajar pada tanggal 21 November 1945. Serangan itu bertujuan untuk memukul mundur pasukan Sekutu yang bertahan di desa Pingit. Pasukan yang dipimpin oleh Imam Androngi herhasil menduduki desa Pingit dan melakukan perebutan terhadap desa-desa sekitarnya. Batalion Imam Androngi meneruskan gerakan pengejarannya. Kemudian Batalion Imam Androngi diperkuat tiga hatalion dari Yogyakarta, yaitu Batalion 10 di bawah pimpinan Mayor Soeharto, Batalion 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan batalion Sugeng.
Akhirnya musuh terkepung, walaupun demikian, pasukan musuh mencoba untuk menerobos kepungan itu. Caranya adalah dengan melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan TKR dengan menggunakan tank-tank dari arah belakang. Untuk mencegah jatuhnya korban, pasukan TKR mundur ke Bedono. Dengan bantuan Resimen Dua yang dipimpin oleh M. Sarbini, Batalion Polisi Istimewa yang dipimpin oleh Onie Sastroatmojo, dan batalion dari Yogyakarta mengakibatkan gerakan musuh berhasil ditahan di desa Jambu. Di desa Jambu, para komandan pasukan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.
Rapat itu menghasilkan pembentukan komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran, bertempat di Magelang. Sejak saat itu, Ambarawa dibagi atas empat sektor, yaitu sektor utara, sektor timur, sektor selatan, dan sektor barat. Kekuatan pasukan tempur disiagakan secara bergantian. Pada tanggal 26 November 1945, pimpinan pasukan dari Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman gugur maka sejak saat itu Kolonel Sudirman Panglima Divisi V di Purwokerto mengambil alih pimpinan pasukan. Situasi pertempuran menguntungkan pasukan TKR.
Strategi Pertempuran
Ambarawa
Musuh
terusir dari Banyubiru pada tanggal 5 Desember 1945. Setelah mempelajari
situasi pertempuran, pada tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Sudirman mengambil
prakarsa untuk mengumpulkan setiap komandan sektor. Dalam kesimpulannya
dinyatakan bahwa musuh telah terjepit sehingga perlu dilaksanakan serangan yang
terakhir. Rencana serangan disusun sebagai berikut.
Serangan
dilakukan serentak dan mendadak dari semua sector.
Setiap
komandan sektor memimpin pelaksanaan serangan.
Pasukan
badan perjuangan (laskar) menjadi tenaga cadangan.
Hari
serangan adalah 12 Desember 1945, pukul 04.30.
Akhir
dari Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari,
pasukan TKR bergerak menuju sasarannya masing-masing. Dalam waktu setengah jam
pasukan TKR berhasil mengepung pasukan musuh yang ada di dalam kota. Pertahanan
musuh yang terkuat diperkirakan di Benteng Willem yang terletak di
tengah-tengah kota Ambarawa. Kota Ambarawa dikepung selama empat hari empat
malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit berusaha keras untuk mundur dari
medan pertempuran. Pada tanggal 15 Desember 1945, musuh meninggalkan kota
Ambarawa dan mundur ke Semarang.
Ø KESIMPULAN PERTEMPURAN
AMBARAWA
1. Sebab Pertempuran Ambarawa
Tentara sekutu mendarat di semarang pada tanggal
20 oktober 1945 dibawah pimpinan brigjen Bethel dan diboncengi tentara NICA
dengan tujuan untuk membebaskan para tawanan. Saat sekutu dan NICA membebaskan
tawanan tentara belanda, para tawanan justru dipersenjatai. Ketegangan dimulai
ketika tawanan belanda bertindak sombong, serta mengabaikan kedaulatan
pemerintah dengan terang-terangan berusaha untuk menduduki kembali Indonesia.
Hal ini menimbulkan kemarahan rakyat Indonesia dan akhirnya pertempuranpun
pecah.
2. Tokoh yang Terkenal
- Letkol Isdiman, gugur di pertempuran
- Kolonel Sudirman, pemimpin pasukan Indonesia
menggantikan Isdiman yang gugur
- Brigadir Bethel, Pemimpin tentara sekutu - M
Sarbini, Pemimpin TKR Resimen magelang
3. Akibat Pertempuran Ambarawa
Pertempuran di ambarawa berhasil mempengaruhi dan melemahkan kekuatan
belanda sehingga belanda kesulitan melakukan pertempuran di daerah lainnya.
Pertempuran ini juga mengakibatkan Letkol Isdiman dan Prajurit Indonesia banyak
yang gugur di medan perang.
4. Strategi
Kolonel Sudirman dan pasukannya menggunakan strategi
“Supit Udang”, yaitu pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh
terkurung atau terkepung. Dengan kedisiplinan yang tinggi dan perencanaan yang
matang, strategi tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik sehingga membawa
kemenangan bagi para pejuan tanah air.